SPW – Emosi ternyata dibentuk berdasarkan pengalaman masa lalu dan budaya dimana kita dibesarkan. Kali ini saya akan membahas buku berjudul How Emotion are Made karya Lisa Feldman Barrett terkait pandangan yang kurang tepat terhadap emosi.
Banyak orang merasa emosi terasa begitu otomatis, seperti halnya sebuah respon yang tidak bisa kita kendalikan. Banyak peneliti juga mendukung asumsi ini dengan argumen, kalau emosi tertanam dalam tubuh atau otak seseorang. Mungkin kamu pernah menonton film Inside Out, dimana setiap emosi dari anak perempuan itu tinggal di dalam otaknya dan mempengaruhi apapun yang dilakukannya.
Namun Lisa Feldman punya pendapat berbeda, menurutnya emosi justru dibentuk oleh diri kita sendiri, otak, dan budaya tempat kita dibesarkan. Ini merupakan sebuah realita emosi yang lebih kompleks dari yang selama ini kita tahu.
Tiga Hal Penting dari Buku How Emotion are Made karya Lisa Feldman Barrett:
Pertama, Proses Emosi Terbentuk
Seberapa sulit untuk mengendalikan emosi? Banyak orang mencoba namun seringkali gagal. Pandangan klasik melihat emosi sebagai suatu yang universal, diasumsikan bahwa emosi tertanam dan secara otomatis dipicu oleh daerah otak yang berbeda.
Coba bayangkan kamu memiliki rekan kerja yang menyebalkan. Dia akan memicu neuron kemarahan yang akibatnya membuat darahmu mendidih dan wajahmu menjadi cemberut. Contoh lain mungkin ketika seorang teman meninggal dunia, dalam hal ini neuron kesedihan mengirimkan sinyal yang membuatmu menangis.
Menurut Lisa Feldman, emosi itu sama seperti warna. Bagi seorang desain interior akan dapat mudah membedakan antara warna biru, kobal, ultramarine, biru tua, dan science. Namun mayoritas orang awam mungkin hanya mengidentifikasikan masing-masing warna sebagai warna biru. Fenomena ini membuat Lisa Feldman bertanya, bagaimana cara mengukur emosi secara objektif?
Pendapat klasik mengenai ukuran emosi adalah jika emosi dapat diukur secara akurat melalui ekspresi wajah. Tapi apakah kamu selalu memasang wajah marah saat sedang marah? Atau wajah terkejut saat sedang terkejut? Ternyata tidak! Sama halnya ketika seseorang tersenyum, bukan berarti dia bahagia.
Setiap orang bereaksi terhadap emosi dengan cara yang berbeda. Sejak tahun 1990 hingga 2011, Lisa Feldman beserta peneliti lainnya mulai bereksperimen dan menganalisa yang terjadi dalam otak. Mereka berusaha merekam, apakah ada aktivitas di salah satu bagian otak ketika responden mengalami rasa takut, sedih, marah atau bahagia. Menariknya, hasilnya justru berada di luar dugaan.
Contohnya bagian amygdalae menunjukkan peningkatan aktivitas untuk emosi, seperti rasa takut tapi hanya terjadi di seperempat studi yang dilakukan. Sebagai informasi amygdalae merupakan bagian dalam anatomi otak yang berhubungan dengan proses emosi, perilaku, dan memori. Bagian otak ini berbentuk seperti kacang almond.
Penelitian ini juga menemukan kalau amygdalae menjadi aktif ketika responden merasakan marah, jijik, sedih, dan bahagia. Menariknya, aktivitas amygdalae juga meningkat saat berada dalam kondisi non emosional, seperti ketika seseorang merasakan sakit, belajar hal baru, bertemu orang baru, atau membuat sebuah keputusan.
Hal ini yang membuat Lisa Feldman merasa kalau berusaha mengidentifikasikan emosi seseorang berdasarkan tanda fisik seperti perubahan otot wajah, perubahan tubuh, atau sinyal di otak merupakan usaha yang sia-sia.
Kedua, Emosi Terbentuk Spontan
Apa tanda kalau kamu tertarik pada seorang? Mungkin saat merasa wajahmu mulai merah merona atau mungkin merasa gugup, istilahnya butterfly in my stomach. Pada saat Lisa Feldman sedang menjalani program pascasarjana, dia bersedia untuk berkencan dengan seorang pria yang tidak terlalu disukainya. Selama kencan, Lisa Feldman merasakan wajahnya memerah, gugup, dan dia sulit berkonsentrasi. Lisa Feldman merasa kalau dia benar-benar jatuh cinta pada pria tersebut.
Namun saat pulang dia muntah dan menghabiskan tujuh hari berikutnya di tempat tidur karena flu. Apa artinya? Lisa Feldman saat itu percaya kalau dirinya jatuh cinta dengan pria tersebut karena merasakan gejala jatuh cinta seperti wajah memerah dan gugup. Lisa Feldman menjelaskan kalau ini merupakan theory of constructed emotion, artinya emosi merupakan ciptaan otak yang berasal dari pemberian makna atas sensasi tubuh yang kamu rasakan dan berasal dari kejadian di sekitarmu.
Menariknya, setiap emosi yang terbentuk tergantung dari pengalaman seseorang. Contohnya jika segerombolan lebah mendengung secara agresif masuk ke dalam rumah, kamu mungkin mulai merasa cemas atau takut karena di otakmu punya pengetahuan soal serangga yang suka menyengat. Namun di sisi lain seseorang mungkin melihat gambar kartun lebah yang tersenyum di buku anak-anak dan teringat keponakan tercintanya saat diajak menonton film Disney. Tiba-tiba saja orang tersebut dibanjiri ya dengan kenangan.
Dengan kata lain, emosi bukanlah reaksi kita terhadap dunia, sebaliknya otak kita membangun makna dan mengatur tindakan dari input sensorik dan pengalaman masa lalu. Teori ini juga menjelaskan kalau emosi manusia bervariasi. Mungkin ketika kamu sedang marah, kamu merengutkan kening, berteriak, tertawa atau hanya diam. Hal ini disebabkan tidak ada hanya satu jenis kemarahan. Kemarahan yang kamu ungkapkan bervariasi, tergantung dari situasi apa yang kamu hadapi saat itu.
Lisa Feldman mengibaratkan emosi seperti cookies. Ada yang garing, kenyal, besar, kecil, dan sebagainya. Cookies tidak perlu terlihat sama atau dibuat dengan resep yang sama, tapi masing-masing memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menyediakan camilan atau hidangan penutup yang enak. Demikian pula setiap kategori emosi seperti kebahagiaan atau rasa bersalah, dipenuhi dengan variasi yang berbeda.
Ketiga, Emosi Terbentuk dari Budaya
Bagaimana cara menggambarkan kesedihan? Anehnya di Pulau Tahiti tidak ada cara untuk menggambarkannya. Orang Tahiti menggunakan sebuah kata yang sama seperti kelelahan yang berhubungan dengan flu. Ini merupakan fakta yang menarik.
Realita yang kita jalani bergantung pada konsep yang kita gunakan untuk memahami lingkungan sekitar. Pada akhirnya, konsep ini bergantung pada budaya. Sama halnya antara kue muffin dengan cupcake. Sekilas tidak ada yang berbeda. Mereka berdua memiliki bentuk serupa dan dibuat dengan bahan dasar sama. Perbedaan utamanya terletak pada segi budaya. Cupcake dimakan sebagai makanan penutup, sedangkan muffin dimakan sebagai sarapan. Ini merupakan contoh realitas sosial, dimana sebuah objek memiliki makna dan fungsi melalui kesepakatan sosial.
Sama halnya dengan uang kertas. Kita setuju jika harga $1 seharga Rp14.000. Intinya adalah konsep emosi dibentuk oleh konvensi budaya. Begitu kita mengetahui konsepnya kita akan mengalami emosi tersebut.
Ada contoh menarik dari sejarah tersenyum. Saat ini konsep emosi mengasosiasikan kebahagiaan dengan senyuman, tapi hal ini tidak selalu terjadi. Lisa Feldman mengklaim bahwa orang Yunani dan Romawi kuno tidak memiliki kata untuk senyum. Itu bukan isyarat budaya signifikan yang terkait dengan kebahagiaan. Faktanya, tersenyum hanya menjadi mode di abad ke-18 setelah akses yang lebih luas ke kedokteran Gigi. Senyum sebenarnya adalah penemuan abad pertengahan.
Kesimpulan
Setiap saat otak kita menggunakan pengalaman masa lalu untuk memberikan makna dari yang kita rasakan. Emosi merupakan ciptaan otak yang berasal dari pemberian makna atas sensasi tubuh yang kamu rasakan dan berasal dari kejadian di sekitarmu.
Semoga bermanfaat. Sebagai bentuk dukunganmu terhadap blog pribadi ini, caranya mudah sekali. Hanya tinggalkan komentarmu dan sebarkan tulisan ini kepada siapapun. Terima kasih banyak.