SPW – Konflik bisa diselesaikan apabila kamu berhenti berpikir selalu ada lawan. Kali ini saya akan membahas buku berjudul Negotiating The Nonnegotiable karya Daniel Shapiro terkait bagaimana cara kita bisa bernegosiasi pada konflik yang berat.
Kita pasti pernah memiliki konflik dengan orang lain. Mungkin saja dengan teman, rekan kerja, pasangan atau bahkan keluarga. Di momen itu, kita seakan tidak bisa mencapai kata sepakat dan pertengkaran atas masalah yang sama diulang terus-menerus. Masalah yang menurut orang lain sepele, bisa menjadi masalah yang bisa menentukan keberlangsungan hubungan kita dengan orang lain. Bagaimana cara kita mencari jalan tengah dari kondisi tersebut? Apakah benar sebuah konflik yang berat tidak bisa diselesaikan?
Tiga Hal Penting dari Buku Berjudul Negotiating The Nonnegotiable karya Daniel Shapiro:
Pertama, Identitas Menyebabkan Masalah Tambah Rumit
Dunia kita boleh dibilang semakin terbagi menjadi kelompok-kelompok tertentu. Dengan kemajuan teknologi kita menjadi mudah untuk berhubung dengan orang lain. Kita mungkin saja tergabung dalam berbagai kelompok misalnya, hobi, pekerjaan hingga afiliasi politik tertentu. Lama-kelamaan kelompok itu menjadi bagian dari identitas yang tidak terpisahkan. Kita merasakan adanya hubungan yang kuat dengan kelompok tersebut.
Daniel Shapiro melakukan eksperimen untuk membuktikan betapa keras kepalanya manusia, jika diminta untuk mengubah identitas mereka. Eksperimen ini membagi total 45 peserta menjadi enam kelompok. Masing-masing kelompok kemudian diberikan serangkaian pertanyaan yang bervariasi. Mereka diminta untuk menjawab berbagai hal. Mulai dari pandangan mereka soal hukuman mati atau apa yang mereka anggap nilai terpenting dalam sebuah kelompok.
Setelah berdiskusi selama 50 menit, mereka harus memilih satu dari enam kelompok yang dianggap paling mewakili mereka. Di dalam eksperimen itu, Daniel Shapiro mengatakan kalau mereka gagal maka bumi akan dihancurkan oleh alien.
Selama dua dekade, Daniel Shapiro telah menjalankan eksperimen ini puluhan kali dengan berbagai kalangan di seluruh dunia. Mereka selalu gagal kecuali hanya beberapa kali. Hal ini disebabkan para peserta begitu melekat dengan identitas mereka, sehingga menolak untuk mengadopsi yang baru demi menyelamatkan dunia.
Kita pasti pernah terlibat dalam sebuah konflik, namun untuk menyelesaikannya kita perlu memahami dinamika yang kompleks. Mungkin kita percaya ada dua faktor yang berhubungan dengan konflik, yaitu rasional dan emosional.
Awalnya dua orang yang berseteru terjebak dalam konflik berada dalam sisi rasional. Kepribadian ini dikenal sebagai homo economicus, artinya kita berusaha untuk memaksimalkan keuntungan diri sendiri tanpa merugikan orang lain. Faktor lainnya yaitu emosional atau dikenal sebagai homo emoticus, artinya rasa lapar yang mengingatkan kamu untuk makan. Emosi akan mengingatkan kamu soal kebutuhan psikologis.
Rasa bersalah bertujuan untuk memberitahu kalau kamu perlu memperbaiki kesalahan. Sayangnya emosi juga dapat menghambat resolusi konflik. Emosi seperti kemarahan, rasa bangga berlebihan, dan kebencian dapat mengakibatkan kebuntuan dalam konflik.
Di luar dari faktor rasional dan emosional ada satu faktor yang kadang terlupakan, yaitu identitas diri. Identitas diri dikenal sebagai homo identicus, yang berakar pada prinsip kalau manusia mencari makna atas kelahirannya di dunia.
Ketika konflik mulai menyentuh identitas, inilah yang menambah konflik menjadi sangat sulit diatasi. Kamu merasa terancam atas aspek yang paling mendasar tentang siapa dirimu, apa yang kamu anggap penting, dan bagaimana kamu memaknai hidup.
Kedua, Pengertian Tribes Effect
Saat terlibat dalam sebuah negosiasi atau konflik yang alot, pola pikir kita menjadi sangat penting. Konflik seringkali dapat dinegosiasikan, namun ketika kita merasa identitas kita terancam, konflik yang nampaknya kecil dapat berubah menjadi konflik yang tidak bisa diselesaikan. Daniel Shapiro menyebut hal ini sebagai tribes effect. Dalam kondisi ini kita mengadopsi pola pikir saya lawan kamu atau kita lawan mereka.
Di zaman dulu, pola pikir ini dapat membantu anggota di dalam kelompok untuk melindungi mereka dari ancaman. Namun di zaman sekarang hal ini bisa menjadi sumber berbagai konflik. Mulai dari konflik di dalam keluarga hingga konflik antarnegara.
Tribes effect akan membuat kamu menjadi defensif dan menutup peluang untuk berkolaborasi. Hasilnya jika satu atau kedua pihak dalam konflik punya pola pikir seperti ini, maka akan sulit menemukan solusi dan situasi semakin runyam. Apa tanda-tanda kalau kita berada dalam fase tribes effect? Pada dasarnya ini merupakan pola pikir yang merasa kalau diri paling benar dan orang lain pasti salah.
Hasilnya kamu tidak dapat melihat kesamaan yang kalian miliki. Kamu ibaratnya mengalami amnesia relasional, artinya sebuah fenomena di mana salah satu pasangan melupakan hal detail atau momen tertentu dari hubungan mereka. Setiap kali kita merasa identitas kita terancam, maka tribes effect akan terpicu. Inilah yang membuat perbedaan tampak kecil bisa berubah menjadi konflik besar.
Ilustrasinya, pasangan yang seringkali bertengkar dengan masalah kecil atau sepele, tapi diulang terus-menerus. Mungkin kita anggap ini sebagai hal yang sepele, tetapi bagi pasangan tersebut hal itu merupakan ancaman bagi kelangsungan hubungan mereka.
Ketiga, Cara Negosiasi yang Benar dan Tepat
Apakah kamu pernah berdebat dengan seseorang dan baru sadar kalau kalian sudah berdebat selama lebih dari setengah jam, padahal rasanya hanya lima menit? Efek ini disebut sebagai brain frog. Ketika kamu terjebak dalam hal ini, kamu ibaratnya lupa lingkungan sekitar dan hanya fokus pada hal negatif.
Ilustrasinya, sepasang suami istri sedang berada di mal. Sang istrinya ingin membeli selimut tapi suaminya tidak mau. Awalnya mereka mulai berdebat hal kecil, namun lama-kelamaan perbedaan ini berlanjut dan semakin panas hingga akhirnya mulai mempertanyakan, “kenapa mereka menikah?” Mereka sudah tidak bisa lagi berucap dengan jernih dan melihat semua hal dengan negatif. Jika kamu berada dalam kondisi itu, ambil nafas panjang dan mulai sadar. Jangan terlarut dengan suasana dirimu.
Kita harus hati-hati ketika berbicara sesuatu hal yang dianggap sebagai hal tabu. Sebab ini bisa menjadi sumber konflik yang besar. Hal tabu dianggap sebagai pemikiran perasaan atau perbuatan tertentu yang dianggap tidak pantas di dalam sebuah kelompok. Tabu ini sifatnya sangat situasional, mungkin saja di kelompok tertentu hal itu dianggap tabu, namun di kelompok masyarakat lain hal itu dianggap biasa.
Semoga bermanfaat. Sebagai bentuk dukunganmu terhadap blog pribadi ini, caranya mudah sekali. Hanya tinggalkan komentarmu dan sebarkan tulisan ini kepada siapapun. Terima kasih banyak.